(Note : ini adalah ff ku untuk #singgah nya @JiaEffendie. Karena tidak terpilih, makanya boleh di posting ke blog. Hmmmm, just give a comment what u thinking about. Biasanya saya gak nuntut komen loh untuk semua blogku… <= omongan dari orang yang punya 4 blog đ )
Aku biasa melihatnya tepat setengah jam sebelum keretaku tiba. Kereta kami. Dengan kemeja yang kebanyakan berwarna biru, biru laut, atau biru dongker. Sepertinya ia senang dengan warna tersebut. Aku lupa kapan dan bagaimana tepatnya kehadirannya kutunggu. Yang kuingat adalah pada suatu sore aku bersama Mba Ivon, sedang menunggu kereta. Kereta kami.
âEh mba, lihat cowok yang itu gak?â kataku ke mba Ivon menunjuk pria tersebut. Yang tentu saja aku tidak benar-benar menunjuk pria tersebut. Hanya sebatas lirikan mataku.
Mba ivon pun mengikuti arah pandanganku. Mengamati sejenak pria tersebut. Lalu menyeruput kembali ice latte nya.
âLihat Rei, kenapa? Lo naksir ya?â tembak mba Ivon. 5 tahun kami menjadi rekan kerja, rupanya aku tak perlu menyembunyikan apapun darinya.
âIhh, mba ivon. Orang cuma disuruh lihat aja kokâ
âYa abis ngapain coba merhatiin cowok kalo bukan naksirâ mba ivon agak sedikit tidak memperdulikanku. Ia malah menghentikan langkahnya tiba-tiba dan langsung menyeret tanganku.
âEeeehh, majalah ini udah muncul aja nih. Rei pinjem uang dulu Rei, lagi gak ada recehan niih…â todongnya.
âMba Ivon ada-ada aja deh, bentar lagi mau dateng nih kereta. Kalau ketinggalan gimana?â sambil menggerutu aku pun berusaha secepat kilat mengeluarkan uang dan membayarknnya pada loper majalah.
âTerima kasih ya nengâ ujar bapak loper majalah tersebut padaku. Aku hanya tersenyum nyengir dan gantian menarik tangan mba ivon agar kami bergegas.
Betul saja kan, kereta kami datang. Setengah berlari aku menyeret mba ivon menaiki tangga. Sedangkan ia sendiri sibuk memegangi majalah wanita dan gelas ice latte secara bersamaan.
Ketika kami berhasil menaiki kereta, pintu kereta segera menutup di belakang kami.
âFhuhhh, untung pasâ kataku sambil mengibas-ibaskan tangan. Kami tidak dapat duduk pastinya. Jam pulang kerja seperti ini jangan berharap dapat duduk. Bisa naik saja sudah bersyukur.
Mataku lalu mencari-cari pria itu lagi. Ah, ternyata ia masuk di gerbong sebelah.
âHush Puppiesâ aku menggumam sendiri.
âHah? Apa Rei?â mba ivon rupanya mendengar gumamanku.
âNggak mba, itu cowok yang tadi aku bilang pake jaket Hush Puppiesâ
âMake jaket? Dih lebay, emang sedingin apa sih ini kereta?â cibir mba ivon. Giliran aku yang sekarang tidak memperdulikan mba Ivon.
Begitulah awalnya aku memperhatikan pria tersebut. Atau lebih tepatnya, pria itu menjadi pusat perhatianku setiap senja. Stasiun Sudirman yang penuh sesak dan sangat kejam perlakuannya terhadap pengguna kereta pun sekarang tidak kurasakan lagi. Sikut-sikutan di pintu kereta hanya demi mendapatkan tempat duduk saja malah membuatku senang. Cintakah perasaan ini disebut? Ahh…rasanya aku pernah jatuh cinta dan rasanya lebih hebat daripada ini.
Aku hanya menikmati perasaan damai campur senang yang kudapat saat mengamatinya. Bahkan aku hapal setiap lekukan tubuhnya, lekukan tasnya. Ada sedikit sompal di ujung kiri tas punggung hitam kesayangannya itu.
Bahkan jika aku melihat dia dari belakang pun, aku bisa memastikan pemilik punggung itu adalah dia. Pria Hush Puppies-ku.
Tanpa kusadari, aku jadi selalu menunggu saatnya senja. Saat menunggu di stasiun yang penuh sesak dengan orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Terkadang, turun dari bis dan mulai memasuki stasiun saja aku sudah senang. Berdiri di tengah stasiun dekat penjual majalah eceran, aku sangat menikmati berada di pusaran arus orang-orang yang mempercepat langkahnya pulang ke rumah masing-masing. Bersenandung sendiri.
âRei! Ngelamun aja loeâ Mba Vie menegurku sambil senyum-senyum. Aku hanya menatapnya sambil terus membereskan tasku. Sudah waktunya jam pulang.
âcieeee, yang mau ketemu Hush Puppiesâ dari sudut kubikelku, mba Ivon melongokan kepalanya dan menggodaku.
âapa sih ini, udah hushhh hussssh sana pada pulangâ usirku pura-pura galak.
âiyeeee…iyeeee…husshhhh pupiesssssâ Mba Vie menjawab sekenanya sambil ngeloyor pulang.
âRei ayo cepetan pulangâ ajak Mba Ivon buru-buru menarik tanganku. Aku mengikutinya hingga ke tempat absen. Dan kemudian.
âmba, gue gak bareng ya. Mau ke Giant dulu ada titipan nyokapâ ujarku
âhah, yakin loe? Ntar gak ketemu Hush Puppies lho..â
âiyeeeeee, gimana dong ini titipan nyokapâ aku pun mendahuluinya berjalan ke lorong menuju pintu keluar dan melambaikan tanganku.
Di Giant sambil berbelanja aku pun berpikir dengan geli. Semua orang di kantorku kini tahu kalau aku naksir pria Hush Puppies. Terima kasih atas keramahan Mba Ivon yang bercerita setiap makan siang di kantor. Sampai-sampai supervisorku pernah hampir nekat mau ikut ke stasiun hanya untuk melihat bagaimana rupa Hush Puppies! Astaga, terkadang mulut Mba Ivon memang susah direm. Entah apa saja cerita yang beredar.
Aku melirik jamku ketika sampai Stasiun Sudirman. Jam setengah delapan lebih sedikit. Hush Puppies pasti sudah pulang. Aku pun memindahkan kantong belanjaanku dari tangan kiri ke tangan kanan. Dan mulai mengaduk tasku demi mencari handphone untuk mengirim sms. Tanpa melihat ke depan.
Brukk! Aku menabrak punggung seseorang, Perasaanku sih pelan. Tapi kenapa bunyinya lumayan kencang? Ketika aku melihat siapa yang aku tabrak. Rasanya seperti dapat undian lotere saja.
Hush Puppies!
Aku hanya mengerjap-ngerjapkan mataku hingga beberapa saat. Tidak percaya pada penglihatanku sendiri.
âah, maaf ya mbaâ pria itu, pria Hush Puppies.
âiya..tidak apa-apa..saya yang salahâ ragu-ragu aku menjawabnya. Dan baru kurasakan itu. Desiran geli di perutku. Setelah berbulan-bulan menjadi pengamat setia si Hush Puppies, baru kali ini terasa.
Hush Puppies melirik ke arah kantong belanjaanku.
âada yang hancur?â
Aku ikutan melirik.
Tersenyum sambil menggeleng, aku tak bisa tidak harus segera meredakan debaran jantungku ini.
âenggak kok mas, tenang aja cuma minuman kalengâ
Hush Puppies hanya mengangguk lega. Lalu dia melihat sekeliling. Demi melihat Hush Puppies yang seperti akanbernjak pergi.
Pikir Rei pikir! Ajak dia kenalan!
Gugup dengan pikiranku sendiri, aku langsung menyapanya kembali.
âeeemmmmm, mas naik jurusan apa? Keretanya sudah datang belum ya?â tanyaku agak meracau.
âhmm… belum tuh. Saya naik yang ke Pondok Ranji. Tapi dari tadi belum ada tuh. Sepertinya ada gangguanâ
Sesaat Hush Puppies berkata itu, terdengar langsung suara petugas wanita di pengeras suara.
âPerhatian…perhatian…kereta sudah berangkat dari stasiun Manggarai. Mohon maaf atas keterlambatannyaâ.
âhah, syukurlah…â aku menarik napas. Lega sungguhan. Tidak terbayang kalau semalam ini masih gangguan juga.
âMba mau kemana? â tanya Hush Puppies
âsama, saya juga turun Pondok Ranjiâ sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
âoh ya? Bareng saja kitaâ tawar Hush Puppies.
Tentu saja aku tidak menolak ajakan itu. Dan ketika kereta datang tanpa ada harapan duduk. Siapa lagi wanita yang sedang paling senang sedunia selain aku.
Hush Puppies aslinya bernama Bram. Bekerja di salah satu gedung di daerah Sudirman. Hmmm, kalau makan siang bareng bisa nih dari Cikini. Pikirku. Haha. Berharap kan boleh.
Bekerja sebagai warehouse staff. Jadi kadang-kadang keliling cabang untuk mengecek dan mengawasi barang.
Tentu saja perjalanan selama satu setengah jam berdiri dan penuh sesak itu juga kugunakan untuk memperkenalkan diriku.
Reina, senior admin di distributor alat kesehatan. Rumah, hanya sekali angkutan umum dari stasiun Pondok Ranji. Dan ternyata usia kami hanya terpaut setahun. Aku 27. Bram 28.
Hanya itu saja perkenalan kami. Selebihnya, lebih banyak curahan hati tentang kereta. Tentang demo di bundaran HI yang kemarin ada. Tentang restoran sushi yang baru dibuka di dekat stasiun Sudirman. Semua orang pun tahu aku ingin diajak makan siang disana!
Ketika pada akhirnya kereta sampai ke tujuan kami. Kami berjalan keluar pintu stasiun berbarengan. Dan aku hanya melambaikan tanganku.
âsampai ketemu lagi Bramâ sekali lagi, aku memamerkan senyum termanisku.
Bram pun melambaikan tangannya.
âbye..â
Aku tidak mencoba meminta nomor handphone nya. Entahlah, aku yakin akan bertemu dia lagi.
Semenjak kejadian aku dan Hush Puppies enam bulan yang lalu itu. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Padahal biasanya instingku tidak pernah salah. Dan semuanya di kantor selalu menanyakan.
âudah ketemu Hush Puppies belom Rei?â
âgimana perkembangannya dengan Hush Puppies?â
Kantorku tidak pernah kehabisan rasa penasarannya. Dan sekali lagi, terima kasih atas keramahan Mba Ivon.
âyuk Rei pulangâ
Aku melihat jam di layar komputerku. Sore ini tumben sekali setengah jam sebelum pulang mba Ivon sudah menghampiri kubikelku.
âYa ampun mba, belom kali…â kata-kataku menggantung demi mengingat besok itu cuti bersama. Dan bos besar sudah mengijinkan kami pulang dari jam 3 sore.
âoke deh, bentar gue siap-siap dulu ya mbaâ secepat kilat aku men-save semua pekerjaan ku dan membereskan meja.
Lalu setengah berlari aku dan mba Ivon absen. Masih berlari dan baru berhenti di bis dan sampai stasiun.
âMasih kekejar Reiâ ngos-ngosan mba Ivon berkata. âgue mau beli ice latte dulu ya, hausâ tanpa persetujuanku mba Ivon menuju stand penjual ice latte.
âgue nitip ya mbaâ
Ketika lenganku ditepuk dari samping.
âRei..â
Akupun menoleh.
âBram! Heiii, lama gak kelihatanâ . Bram pun hanya tertawa.
âgak pernah naik kereta lagi ya?â tanyaku langsung.
âmasih kok, tapi jamnya yang beda sekarangâ
Belum sempat aku menyahut lagi.
âmas…â suara seorang perempuan, halus memanggilnya. Kami berdua menoleh. Bram langsung merangkul lengannya. Aku pun tak urung tersenyum pada wanita itu.
âyuk Rei, duluan yaâ Bram melambaikan tangannya.
Wanita itu pun tersenyum kembali padaku. Sambil berlalu, ia menyerahkan segelas ice latte pada Bram. Sedangkan ia juga memegang segelas yang lain. Sekilas, kulihat kilatan cincin di jari Bram ketika menerima ice latte. Kilatan yang sama di jari wanita itu. Dan wanita itu mengenakan jaket Hush Puppies.
âReeiiiii…â rengekan mba Ivon tiba-tiba di sebelahku.
âKenapa mbaaa?â
âGak kebagian ice latte nya. Dua yang terakhir diborong sama mba-mba gituâ
Akupun menoleh ke arah pasangan tadi pergi.
âTerima kasihâ gumamku.
âhah? Kok terima kasih Rei?â Mba Ivon melongo mendengar gumamanku.
âiiihhhh, mba Ivon denger aja deh kalo gue lagi ngomong sendiriâ aku merangkul gemas mba Ivon dan mengajaknya menuju peron kami.
âlagian kok ngomong sendiri, serem tahu..â protesnya.
Aku hanya tertawa kecil.
Terima kasih telah singgah.